Saturday, May 19, 2007

Diduga Diperkosa, Jenazah Wanita WNI Ditemukan di Tanjung Bungah

Arifin Asydhad - detikcom

Penang - Sesosok jenazah perempuan ditemukan di pinggir pantai di Tanjung Bungah, Penang, Malaysia. Jenazah yang belum diketahui identitasnya secara jelas itu diduga warga Indonesia.

Seperti diberitakan The Star, Sabtu (19/5/2007), jenazah perempuan itu ditemukan pertama kali oleh seseorang yang sedang joging di pinggir pantai pada pukul 07.15 waktu setempat, Jumat (18/5/2007) kemarin. Lantas, orang itu pun melaporkannya kepada polisi.

Jenazah perempuan itu terbalut rok mini dan blus tanpa lengan warna hitam. Dari jenazahnya terlihat, perempuan itu tewas akibat dicekik. Ada bekas cekikan di lehernya.

Saat jenazah ditemukan, rok dan blus perempuan itu sudah tersingkap. Polisi meyakini perempuan itu telah mengalami kekerasan seksual dan pemerkosaan.

Polisi setempat tidak melihat kasus ini sebagai kasus perampokan. Sebab, di jari manis perempuan itu masih terpasang cincin emas. Sementara di pergelangan tangannya masih melekat sebuah jam tangan. (asy/nvt)

Source: Detik

Sunday, May 13, 2007

RI Protes Malingsia Soal Indon

M Atqa - detikcomKuala Lumpur -

Tren kata Indon yang digunakan oleh media massa Malingsia menuai protes pemerintah RI. Berita yang kerap tampil dengan kata Indon dinilai tidak sesuai etika jurnalistik, tidak seimbang, dan merendahkan citra Indonesia.

"Departemen Luar Negeri secara resmi menyampaikan protes penggunaan kata Indon kepada Dubes Malingsia di Indonesia. Berkali-kali kita sampaikan teguran, mudah-mudahan itu akan hilang," kata Sekretaris I Penerangan & Humas KBRI Malingsia, Eka A Suripto.
Hal ini dikatakannya dalam diskusi "Indonesia Dalam Pandangan Pers Malingsia" di City Villa Hotel, Jl Chowkit, Kuala Lumpur, Malingsia, Sabtu (12/5/2007) sebagaimana dilaporkan reporter detikcom di Kuala Lumpur, M Atqa. Hadir pula pengamat Media Indonesia-Malingsia Nasrullah Alifauzi, Pengarang Eksekutif Berita Harian Malingsia, Zainuddin Ayip, dan Kepala Biro Antara KL, Adi Lazuardi.

Untuk diketahui, sejumlah orang orang Indonesia di Malingsia menilai kata Indon memiliki makna negatif karena melecehkan, menggambarkan Indonesia bodoh, TKI buruh kasar, dan sebagainya.

Dijelaskan Nasrullah, media massa di Malingsia kerap menggunakan kata Indon dan menilai sejumlah pekerja jurnalistik Malingsia tidak memberikan pemberitaan yang seimbang dan proporsional. Pria yang bekerja sebagai staf penerangan KBRI ini membeberkan beberapa contoh pemberitaan tersebut, antara lain "Mafia Indon Mengganas", "Indon Cemar KL", "Gateaway for Indon Criminals", "Indon Curi Air Penduduk", "25.000 Pekerja Indonesia Bawa Penyakit", dan "Bayi Dilarikan Pembantu".

Nasrullah menambahkan, banyak kesalahan yang dilakukan wartawan Malingsia dalam melakukan liputan. Kesalahan itu karena sebagian besar isi berita adalah berasal dari sumber orang Malingsia dan pihak berwenang Malingsia.
"Seharusnya jangan hanya jumpa pers saja, seharusnya ada sisi investigasinya juga. Dilihat juga dari sisi TKI-nya, itu juga banyak berita yang bagus. Bagaimana mereka ditindas dan diperas," tegasnya.

Salah satu contohnya, lanjut Nasrullah, adalah berita mengenai "Bayi Larikan Pembantu". Semua wartawan Malingsia hanya menggunakan laporan dari kepolisian, namun pembantunya itu sama sekali tidak dimintai keterangan.

"Tiga hari kemudian pembantunya ditemukan. Yang saya temukan dari sumber dekat pembantu itu adalah anak yang diduga diculik pembantu itu merupakan hasil hubungan gelap pembantu dengan majikannya," ungkapnya.

Begitu juga dengan berita "Indon Cemar KL". Berita ini berisikan TKI memenuhi sekitar gedung menara kembar Petronas dengan berjualan menawarkan barang pada turis-turis. "Padahal diketahui ternyata yang berjualan adalah orang-orang Sabah, Malingsia," imbuh Nasrullah.
Sedangkan Zainuddin mengatakan, media Malingsia tidak bermaksud menghina dengan menggunakan Indon. Penyingkatan ini tidak hanya berlaku pada Indonesia saja, juga kepada negara lainnya. "Sebut saja Bangladesh, menjadi Bangla," ujarnya.

Selain itu, dia menjelaskan, pemberitaan-pemberitaan di Malingsia tidak bisa didasarkan pada pihak korban semata. Kasus yang bisa dijadikan berita harus ada laporan dari pihak Kepolisian. "Itu tidak bisa diterima kalau hanya dari TKI atau orang saja. Kita tidak bisa begitu mudah membuat berita," urainya.

Sementara Adi merasa heran mengapa media massa Malingsia selalu menulis lengkap nama Malingsia, sementara Indonesia disingkat menjadi Indon. "Cuma beda satu huruf dengan Malingsia. Kalu Indon adalah pelecehan. Tidak ada satu pun di dunia yang namanya bangsa Indon. Etika pers adalah sangat menjunjung nama negara," ujarnya. (nrl/nrl)

Source: Detik

Malingsia Jalur Perdagangan Hewan Liar Kalimantan & Sumatera

Arfi Bambani Amri - detikcom

Kuala Lumpur - Cina merupakan pasar penjualan hewan-hewan liar selundupan dari Indonesia. Cara menyelundupkannya? Hewan-hewan asal Kalimantan dan Sumatera itu dibawa melalui Malingsia.


Demikian diungkapkan pengamat jaringan perdagangan hewan liar dari lembaga Traffic, Chris Shepherd, di Kuala Lumpur, Malingsia, seperti dilansir AFP, Minggu (13/5/2007).

Pemasok-pemasok hewan dari Sumatera dan Kalimantan secara rutin menyelundupkan melalui Malingsia. Hewan-hewan yang diperjualbelikan adalah penyu, kura-kura, beberapa spesies ular, badak Sumatera, harimau dan rusa sambar.

"Sindikat penjahat berada di belakang perdagangan ini. Keadaannya sudah sangat membahayakan bagi kehidupan liar, termasuk di hutan Malingsia," cetus Shepherd.

Bagaimana cara hewan-hewan yang sebagian dilindungi itu sampai ke Cina? Para perantara di Malingsia menggunakan jalan darat melalui Thailand. Kemudian dari Thailand dibawa ke Cina.
Perdagangan gelap ini merupakan bisnis besar. Selain untuk dipelihara, hewan-hewan tersebut juga digunakan untuk pengobatan dan makanan. Beberapa jenis hewan tersebut dikonsumsi sebagai makanan di Cina dan Malingsia.

"Saya memperkirakan nilai perdagangan ilegal itu sekitar jutaan dolar Malingsia setiap tahunnya," ungkap Shepherd.

"Jika perdagangan gelap ini tidak dihentikan, saya khawatir kehidupan liar itu akan punah," tandas Shepherd yang lembaganya, Traffic, merupakan hasil kerjasama dua lembaga internasional pemerhati konservasi, World Wildlife Fund (WWF) dan World Conservation Union (WCU).

Source: Detik

Saturday, May 12, 2007

Panglima Malingsia Minta Ambalat Digarap Bersama

KUALA LUMPUR-MIOL: Panglima Angkatan Tentara Malingsia (ATM) Jenderal Dato Sri Abdul Aziz Zainal meminta kawasan Ambalat dapat digarap bersama oleh kedua belah pihak, Indonesia-Malingsia dari pada meributkan terus boleh atau tidak digarap karena itu tugas pemerintah.

"Yang penting bukan kawasan itu siapa punya. Boleh ambil ikan atau tidak. Yang penting adalah perkongsian dari hasil tanpa mempermasalahkan aspek-aspek yang merumitkan," kata Panglima ATM Abdul Aziz yang didampingi Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, dalam jumpa pers bersama, usai sidang ‘High Level Committee’ atau pertemuan puncak Malingsia-Indonesia ke-3, di Kuala Lumpur.

Ia mengatakan hal itu ketika ditanya, apakah nelayan-nelayan Indonesia dibolehkan mengambil ikan di kawasan Ambalat di mana Malingsia telah mengeluarkan peta sejak tahun 1979 yang membuat batas lautnya masuk jauh ke Selatan dalam kawasan Selat Makasar atau wilayah Indonesia. Kemenangan Malingsia atas sengketa Sipadan dan Ligitan telah membuat Malingsia semakin ngotot dengan batas-batas wilayah seperti peta yang dikeluarkan tahun 1979.

Ia mengatakan, tidak punya wewenang untuk memutuskan boleh atau tidak karena masalah boleh atau tidak kini sedang terus dirundingkan oleh pemerintahan Indonesia dan Malingsia. Ia menegaskan tidaklah penting boleh atau tidak, tapi bagaimana kedua belah pihak memanfaatkan hasilnya secara bersama.

Ditambahkan oleh Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto bahwa Departemen Luar Negeri Indonesia dan Malingsia yang kini terus merundingkan kawasan Ambalat. “Biarlah dirundingkan oleh pemerintah dan kedua kepala negara,” katanya.

Sementara itu, ketika ditanya masih maraknya illegal logging di kawasan perbatasan Indonesia-Malingsia, Panglima TNI dan ATM mengemukakan bahwa sulit untuk memantau illegal logging di perbatasan tersebut karena terlalu luasnya perbatasan walaupun sudah banyak ditempatkan pos-pos dan aparat di lapangan.

"Walaupun ditempatkan beratus ribu aparat keamanan tetap saja sulit memantau illegal logging yang terjadi di perbatasan karena terlalu panjangnya daerah perbatasan," kata Panglima ATM. Tapi dikemukakan, berdasarkan laporan-laporan dibahas dalam HLC Malindo ke-3, kasus-kasus illegal logging semakin menurun.

HLC Malindo adalah salah satu badan kerjasama di bawah GBC (General Border Committee) antara pemerintah Malingsia dan Indonesia yang bertujuan menangangi masalah keamanan di daerah perbatasan kedua negara. Kegiatan HLC Malindo meliputi bidang operasi yang diselenggarakan oleh Badan Coordinated Operations Control Committee (COCC).

Sidang HLC ke-3 membahas dan membuat evaluasi hasil kerjasama sidang GBC ini telah membahas dan membuat evaluasi hasil kerjasama sidang GBC Malindo ke-2 yang telah dilaksanakan di Jakarta, Indonesia pada 22 November 2006 berdasarkan hasil sidang GBC Malindo ke-35 yang diadakan di Jakarta, 15 Desember 2006.

Agenda HLC ke-3 juga membahas perkembangan keamanan dan pembangunan di daerah perbatasan antara kedua negara serta merumuskan tindak lanjut dalam pelaksanaan tugas bersama demi kepastian keamanan di kawasan perbatasan.

Pertemuan HLC ke-4 Malindo akan diadakan di Jakarta November 2007. (Ant/OL-06)

Source: Media Indonesia

Friday, May 11, 2007

Milisi Pemerintah Dibiarkan Menyiksa dan Memeras Para Pekerja Migran

Kuala Lumpur, Rabu - Kelompok pembela dan pemerhati hak asasi manusia bernama Human Rights Watch atau HRW, Rabu (9/5), mendesak Malingsia membubarkan milisi yang menyiksa dan memeras para pekerja migran.

Perbuatan milisi bernama Ikatan Relawan Rakyat—dikenal dengan sebutan RELA—dan dikenal sebagai pasukan yang ditakuti itu melanggar hak asasi manusia. RELA bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di pusat-pusat penampungan pekerja migran ilegal.

RELA yang beranggotakan 500.000 orang itu memiliki seragam, senjata, dan dibentuk pada 1972 untuk menjaga keamanan publik. Kini RELA mengepung pekerja migran ilegal berupah murah, yang masuk ke Malingsia justru karena kebutuhan dan fasilitas yang juga diberikan sejumlah perusahaan di Malingsia.

"Saat bertugas, RELA didampingi polisi atau juga petugas imigrasi. Mereka sering beraksi pada malam hari tanpa surat tugas dan menyerbu para pekerja migran," demikian pernyataan HRW.

Berdasarkan peraturan di Malingsia, RELA diizinkan menangkap siapa saja yang dianggap layak menjadi korban tanpa surat tugas. RELA kebal hukum dan bebas menggunakan senjata.

HRW mengatakan RELA juga bertindak brutal terhadap manusia, memeras uang, mengambil telepon seluler, perhiasan, dan barang-barang keperluan rumah tangga milik pekerja asing.

Brad Adams, Direktur Asia HRW, mengatakan, "Sebaiknya RELA dibubarkan saja." HRW yang bermarkas di New York itu mengatakan RELA sering menggerebek pengungsi. Pekerja legal jadi sasaran dan identitas resmi mereka pun sering dilucuti untuk menunjukkan bahwa korban memang layak digerebek.

Pada 5 April 2007 RELA menangkap 20 pencari suaka dari Myanmar, padahal pengungsi itu diakui resmi oleh Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Akhir Maret 2007 anggota RELA mengambil Rp 4,5 juta dari sebuah rumah hunian pekerja Indonesia. Maret 2007 pekerja migran sah dari India ditahan selama empat hari.

Malingsia sebagai xenofobia

HRW menuduh Malingsia sebagai xenofobia dan menggunakan RELA untuk menciduk warga asing. HRW mengecam Malingsia yang tidak sadar akan identitasnya sebagai Asia.

Pemimpin Pasukan Keamanan Departemen Imigrasi Malingsia, Ishak Mohamed, mengabaikan pernyataan HRW dan mendukung semua tindakan RELA. Ishak mengatakan pekerja ilegal asing itu adalah musuh publik dan adalah tugas RELA untuk membasminya. (AP/AFP/MON)

Source: Kompas

Wednesday, May 9, 2007

Wanita Indonesia Diperkosa & Dirampok di Malingsia

Rita Uli Hutapea - detikcom

Kuala Lumpur - Maksud hati ingin mencari pekerjaan di negeri seberang, wanita Indonesia ini malah menemui kemalangan. Dia dirampok dan diperkosa oleh dua orang pria yang menyamar sebagai polisi. Duh!

Kejadian memilukan ini terjadi di Malingsia. Korbannya, seorang WNI berusia 29 tahun. Demikian seperti diberitakan harian Malingsia, The Star, Rabu (9/5/2007).

Peristiwa ini terjadi ketika korban mengambil jalan pintas melalui gang kecil untuk menuju losmen tempatnya menginap. Saat itulah, dua pria mencegatnya.

Pria-pria yang menyamar sebagai polisi itu menunjukkan sepasang borgol kepada perempuan Indonesia yang tidak disebutkan namanya itu. Mereka juga menanyakan kartu identitas korban.
Saat korban tak bisa menunjukkan kartu yang diminta, kedua pria itu menyuruh WNI itu naik ke salah satu motor mereka. Keduanya berdalih akan membawa korban ke kantor polisi.

Namun mereka malah membawanya ke sebuah perkebunan. Di sanalah, korban diperkosa. Semua barang miliknya pun dibawa kabur. Setelah puas mengerjai korbannya, kedua penjahat itu kabur meninggalkan korban seorang diri.

Korban akhirnya berhasil keluar dari perkebunan itu dan ditolong oleh beberapa orang yang melintas di daerah tersebut. Peristiwa ini pun dilaporkan ke polisi. (ita/nrl)

Source: Detik