M Atqa - detikcomKuala Lumpur -
Tren kata Indon yang digunakan oleh media massa Malingsia menuai protes pemerintah RI. Berita yang kerap tampil dengan kata Indon dinilai tidak sesuai etika jurnalistik, tidak seimbang, dan merendahkan citra Indonesia.
"Departemen Luar Negeri secara resmi menyampaikan protes penggunaan kata Indon kepada Dubes Malingsia di Indonesia. Berkali-kali kita sampaikan teguran, mudah-mudahan itu akan hilang," kata Sekretaris I Penerangan & Humas KBRI Malingsia, Eka A Suripto.
Hal ini dikatakannya dalam diskusi "Indonesia Dalam Pandangan Pers Malingsia" di City Villa Hotel, Jl Chowkit, Kuala Lumpur, Malingsia, Sabtu (12/5/2007) sebagaimana dilaporkan reporter detikcom di Kuala Lumpur, M Atqa. Hadir pula pengamat Media Indonesia-Malingsia Nasrullah Alifauzi, Pengarang Eksekutif Berita Harian Malingsia, Zainuddin Ayip, dan Kepala Biro Antara KL, Adi Lazuardi.
Untuk diketahui, sejumlah orang orang Indonesia di Malingsia menilai kata Indon memiliki makna negatif karena melecehkan, menggambarkan Indonesia bodoh, TKI buruh kasar, dan sebagainya.
Dijelaskan Nasrullah, media massa di Malingsia kerap menggunakan kata Indon dan menilai sejumlah pekerja jurnalistik Malingsia tidak memberikan pemberitaan yang seimbang dan proporsional. Pria yang bekerja sebagai staf penerangan KBRI ini membeberkan beberapa contoh pemberitaan tersebut, antara lain "Mafia Indon Mengganas", "Indon Cemar KL", "Gateaway for Indon Criminals", "Indon Curi Air Penduduk", "25.000 Pekerja Indonesia Bawa Penyakit", dan "Bayi Dilarikan Pembantu".
Nasrullah menambahkan, banyak kesalahan yang dilakukan wartawan Malingsia dalam melakukan liputan. Kesalahan itu karena sebagian besar isi berita adalah berasal dari sumber orang Malingsia dan pihak berwenang Malingsia.
"Seharusnya jangan hanya jumpa pers saja, seharusnya ada sisi investigasinya juga. Dilihat juga dari sisi TKI-nya, itu juga banyak berita yang bagus. Bagaimana mereka ditindas dan diperas," tegasnya.
Salah satu contohnya, lanjut Nasrullah, adalah berita mengenai "Bayi Larikan Pembantu". Semua wartawan Malingsia hanya menggunakan laporan dari kepolisian, namun pembantunya itu sama sekali tidak dimintai keterangan.
"Tiga hari kemudian pembantunya ditemukan. Yang saya temukan dari sumber dekat pembantu itu adalah anak yang diduga diculik pembantu itu merupakan hasil hubungan gelap pembantu dengan majikannya," ungkapnya.
Begitu juga dengan berita "Indon Cemar KL". Berita ini berisikan TKI memenuhi sekitar gedung menara kembar Petronas dengan berjualan menawarkan barang pada turis-turis. "Padahal diketahui ternyata yang berjualan adalah orang-orang Sabah, Malingsia," imbuh Nasrullah.
Sedangkan Zainuddin mengatakan, media Malingsia tidak bermaksud menghina dengan menggunakan Indon. Penyingkatan ini tidak hanya berlaku pada Indonesia saja, juga kepada negara lainnya. "Sebut saja Bangladesh, menjadi Bangla," ujarnya.
Selain itu, dia menjelaskan, pemberitaan-pemberitaan di Malingsia tidak bisa didasarkan pada pihak korban semata. Kasus yang bisa dijadikan berita harus ada laporan dari pihak Kepolisian. "Itu tidak bisa diterima kalau hanya dari TKI atau orang saja. Kita tidak bisa begitu mudah membuat berita," urainya.
Sementara Adi merasa heran mengapa media massa Malingsia selalu menulis lengkap nama Malingsia, sementara Indonesia disingkat menjadi Indon. "Cuma beda satu huruf dengan Malingsia. Kalu Indon adalah pelecehan. Tidak ada satu pun di dunia yang namanya bangsa Indon. Etika pers adalah sangat menjunjung nama negara," ujarnya. (nrl/nrl)
Source:
Detik