Friday, April 29, 2005

Trauma Sipadan-Ligitan di Ambalat

Oleh Rusman Ghazali

BERMULA dari lepasnya Timor Timur, 1999, kemudian kekalahan diplomasi politik kita di Mahkamah Internasional dalam mempertahankan Sipadan-Ligitan, 2002, sehingga kedua pulau tersebut menjadi milik Malingsia. Lepasnya kedua wilayah dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat membuat masyarakat kita trauma kemungkinan trauma Sipadan-Ligitan terulang untuk kasus Blok Ambalat.

Konstruksi bangunan teritorial kita dilihat dari kepentingan nasional dirasakan begitu rapuh dalam beberapa tahun terakhir. Sengketa dua blok wilayah Malingsia-Indonesia kembali memanas. Masing-masing mengklaim sebagai wilayah sah mereka. Malingsia memberi nama ND6 dan ND7 dan Indonesia menamakan Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Pertanyaannya mana yang benar?

Menurut Prof Azmi Hassan, ahli strategi politik Malingsia dari UTM (Berita Harian, 7/3), bantahan Pemerintah Indonesia atas klaim kedua blok di Ambalat sudah diperkirakan sebelumnya, bahkan Pemerintah Malingsia telah mempersiapkan segala hal ihwal yang terkait dengan sengketa ini. Dari segi diplomasi, Pemerintah Malingsia tidak pernah meragukan kesahihan atas klaim ND6 dan ND7 sebagai bagian dari wilayah Malingsia atas dasar peta pentas benua, 1979. Dan, juga melakukan bantahan atas konsesi eksplorasi minyak yang diberikan kepada perusahaan ENI dan Unicoal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia.

Bukan hanya itu, dalam tulisan itu, Prof Azmi juga membuat kalkulasi atas kekuatan militer Indonesia jika harus berhadapan dengan kekuatan militer Malingsia. Bahwa TNI tidak berada dalam keadaan optimal akibat embargo militer AS sejak beberapa tahun lalu. Azmi memberi contoh, hanya 40 persen jet tempur yang dimiliki TNI AU dapat digunakan karena ketiadaan suku cadang untuk mengoperasikan kekuatan secara penuh. Jet Sukhoi yang dimiliki Indonesia hanya mempunyai kemampuan radar, tanpa dibantu oleh kelengkapan persenjataan yang lebih canggih lainnya.

Pendek kata, bahwa dalam sengketa ini kekuatan militer TNI juga telah diperhitungkan kekuatannya oleh para ahli strategi di Malingsia sebagai referensi Pemerintah Malingsia dalam menentukan sikap terhadap sengketa di wilayah Ambalat. Pertanyaannya, bagaimana persiapan Pemerintah RI untuk mengelola kasus ini. Karena kasus ini, bukan hanya terkait dengan persoalan klaim sumber minyak, tetapi jauh dari itu juga menyangkut pelecehan harkat dan martabat, harga diri, dan nasionalisme kebangsaan Indonesia serta wilayah kedaulatan negara yang "haram" untuk dinegosiasikan.

Tampaknya, ada kecenderungan dari Pemerintah Malingsia lebih menginginkan konteks diplomasi politik dalam sengketa wilayah Ambalat ini diberi bobot kuat. Oleh karena itu ajakan Pemerintah Indonesia untuk merundingkan kawasan tersebut sejak beberapa tahun silam belum pernah dilayani. Tetapi, pada saat yang sama, Pemerintah Malingsia sedang giat membangun argumen dalam kerangka diplomasi internasional.

Pertama, kajian politik yang ditulis MA Yusoff (2004), bahwa dalam konteks historis, sebenarnya Sipadan-Ligitan diakui masuk dalam wilayah Indonesia, tetapi dari aspek teknologi yang digunakan dan penguasaan konsep-konsep diplomasi politik modern dalam persidangan di Mahkamah Internasional, tim negosiator dari Malingsia jauh lebih unggul karena Indonesia hanya mengandalkan aspek historis. Ada kemungkinan referensi ini menjadi inspirasi kuat bagi Pemerintah Malingsia untuk menggiring kasus Ambalat ini menjadi lebih kompleks di tingkat Mahkamah Internasional, sebagaimana ia memenangkan Sipadan-Ligitan dengan mudah.

Kedua, I Basis Susilo ("Menghadapi Provokasi Malingsia", Kompas, 7/3), bahwa unjuk kekuatan perlu dijaga dalam batas-batas yang lebih produktif bagi diplomasi, tetapi harus merupakan bagian strategis nasional yang terencana. Sepakat dengan hal ini, tetapi ruang diplomasi pemerintah diharapkan tidak longgar, agar tidak tergiring masuk dalam sengketa yang kompleks seperti kasus Sipadan-Ligitan. Apalagi konsep sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut dianggap lebih kuat untuk berhadapan dengan peta pentas benua yang diklaim Malingsia.

Ketiga, bersambung dari poin pertama, dengan mencermati perubahan konstalasi geopolitik antarnegara, sangat penting untuk memaknai bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak lagi cukup mengandalkan aspek historis, atas terbentuknya negara-negara dunia ketiga lebih banyak berdasarkan referensi peta kolonialisme. Jauh dari itu, penguasaan perkembangan konsep diplomasi politik antara negara yang berbatasan langsung serta cara-cara pencaplokan wilayah dengan "tersembunyi" juga sangat menentukan eksistensi wilayah suatu negara. Sebagaimana yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir, seperti semakin bertambahnya wilayah daratan Singapura karena teknologi reklamasi pantai.

Oleh karena itu, dalam konteks sengketa Ambalat yang sedang memanas ini, kita tetap berharap diplomasi menjadi pilihan terbaik sebagai solusi. Dengan harapan diplomasi itu tetap mengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI, tanpa pernah merelakan sejengkal pun untuk diklaim pihak luar. Semoga!

Rusman Ghazali Dosen FISIP Universitas Nasional, Mahasiswa S3 UKM Malingsia

Friday, April 15, 2005

Tak Ada Alasan Malingsia Meninggalkan Ambalat

Perdana Menteri (PM) Malingsia Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi menyatakan, tidak ada alasan bagi Malingsia untuk meninggalkan kawasan Blok Ambalat. "Buat apa kita keluar? Tak ada pun sebab kita hendak meninggalkan kawasan itu,’’ kata Abdullah di Kuala Lumpur seperti dilaporkan Kantor Berita Malingsia, Bernama.

Pernyataan Abdullah ini sekaligus membantah berita bahwa Malingsia menarik kapal perangnya dari Ambalat menyusul insiden serempetan Kapal Diraja Rencong dengan KRI Tedong Naga, di perairan Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, pekan lalu. ’’Kawasan itu kawasan yang kita klaim sebagai kawasan kita. Jadi kita berhak berada di situ,’’ katanya.

Abdullah membantah Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono yang menyatakan Malingsia mengakui posisi Indonesia lebih kuat dalam sengketa Ambalat. "Kami memiliki posisi yang lebih kuat dalam hal ini. Saya tak pernah mengatakan kedudukan mereka lebih kuat. Datuk Seri Najib Tun Razak (Wakil PM Malingsia) tak pernah mengatakan. Datuk Seri Syed Hamid Albar (Menlu Malingsia) pun tak pernah mengatakan,’’ tambahnya.

Panglima ATM

Sementara itu, Angkatan Tentera Malingsia (ATM) membuat sejarah baru dengan mengangkat Panglima ATM dari Tentera Laut Diraja Malingsia (TLDM). Sebelumnya, Panglima ATM selalu dijabat dari Tentera Darat Diraja Malingsia.

Panglima TLDM Laksamana Datuk Seri Mohd. Anwar Mohd. Noor secara resmi diumumkan sebagai Panglima ATM yang baru. Apakah pengangkatan Panglima ATM dari unsur TLDM terkait dengan sengketa Blok Ambalat?

Wakil PM Malingsia Najib Tun Razak ketika mengatakan, pemilihan Mohd. Anwar sebagai Panglima ATM adalah sesuai dengan perubahan paradigma dalam konsep pembangunan angkatan bersenjata di seluruh dunia.(Bernama/Nik)

Thursday, April 14, 2005

Malingsia Tak Cuma Ancam Ambalat, Baju Pengantin pun "Dirampas"

Malingsia ternyata tidak hanya telah mengambil Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, serta mengancam merebut kawasan blok Ambalat, namun juga telah "merampas" baju pengantin Indonesia dengan mematenkan baju adat pengantin Pekanbaru, Riau pada tiga tahun lalu.

"Jangankan Pulau Sipadan dan Ligitan atau Blok Ambalat, baju pengatin milik Indonesia dari Pekanbaru, Riau juga sudah diserobot bahkan dipatenkan oleh Malingsia," kata Ketua Umum Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia (HARPI), Melati, Endang Sugiarto, di Samarinda, Kamis.

Endang mengakui bahwa ada kesalahan di pihak Indonesia yang tidak segera mematenkan hak cipta dari budaya luluhur.

Ia mengatakan bahwa Indonesia memang kecolongan dalam melestarikan budaya bangsa, termasuk pakaian adat pengantin. Hasilnya, ketika pakaian adat Pekanbaru dipatenkan Malingsia, Indonesia pun tak bisa berbuat banyak.

Diduga, pakaian pengantin adat asal Pekanbaru yang kini menjadi milik Malingsia awalnya dibeli oleh pihak Malingsia.

"Kemungkinan ada orang Indonesia yang menjual pakaian pengantin adat itu ke Malingsia dengan harga tinggi dan selanjutnya dipatenkan menjadi pakaian adat Negeri Jiran itu. Ini namanya tidak benar," tegasnya.

Dia mengajak pengurus HARPI di Kaltim agar mengantisipasi hal serupa dengan segera membakukan atau mematenkan pakaian pengantin adat lain yang banyak tersebar di Kaltim.

Endang juga berharap dalam waktu dekat Kaltim ikut berpartisipasi dalam pergelaran pengantin seluruh Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah.

Dari hasil kegiatan ini akan dibukukan dan bukunya dijual ke Asia Pasifik, sebagai antisipasi penyerobotan pakaian adat oleh negara lain.

"Dengan kondisi itu, maka HARPI harus tetap waspada dan jangan sampai kecolongan dua kali, sehingga sampai kini setidaknya terdapat 40 pakaian pengantin adat dari seluruh Indonesia sudah dipatenkan," katanya.

Terlepas sengaja atau tidak, yang jelas Indonesia harus tetap mewaspadai Negeri Jiran itu karena masalah pakaian pengatin saja diserobot, apalagi satu wilayah yang memiliki potensi besar dan berpengaruh bagi pendapatan dan perluasan wilayah Malingsia.

"Pakaian pengantin di Kaltim baru satu yang sudah dipatenkan, yakni Pakaian Adat Anta Kesuma dari Kutai Kartanegara," ujarnya.

Bulungan dan Berau

Kepala Dinas Pendidikan Kaltim H Syafruddin Pernyata menyesalkan pencaplokan pakaian adat milik Indonesia oleh Malingsia, karena dinilai tidak etis bagi sebuah negara yang serumpun.

"Jangan-jangan pakaian pengantin adat Bulungan atau Berau yang masih rumpun Melayu itu pun sudah diklaim menjadi milik Malingsia dan sudah saatnya pakaian adat tersebut segera dipatenkan," kata Syafruddin.

Dia minta pada HARPI Kaltim Malingsia inventarisasi terhadap sejumlah pakaian adat di seluruh Kaltim dan segera dipatenkan untuk menghindari kemungkinan upaya penyerobotan negara lain. (Ant/jy)

Source: Kompas

Malingsia Tidak Akan Gunakan Cara Militer Selesaikan Ambalat

Malingsia tidak akan pernah menggunakan pendekatan militer dalam penyelesaian kasus Ambalat. Malingsia mengedepankan duduk bersama melalui perundingan untuk menyelesaikan sengketa wilayah dengan Indonesia itu.

"Tidak boleh dengan cara militer untuk klaim wilayah Ambalat, tapi musti kita berunding dalam kerangka ciptakan kawasan yang stabil dan aman," kata Perdana Menteri (PM) Malingsia Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi di Putrajaya, Kuala Lumpur, Kamis (14/4), ketika menerima wartawan senior dari Indonesia yang diundang oleh Institut Kajian Strategik dan Antarabangsa (ISIS) Malingsia.

Abdullah mengatakan, hubungan Indonesia dan Malingsia adalah sangat penting bagi ASEAN sehingga diperlukan kepastian hubungan yang kuat dari level pemimpin, pegawai, tentara, diplomat, polisi, LSM dan rakyat kedua negara.

Sejak awal, katanya, penyelesaian masalah Ambalat ditangani dengan sangat hati-hati dan ini telah dilakukan melalui perundingan-perundingan teknis, pertemuan menlu kedua negara, termasuk pembicaraan langsung melalui telepon antara kedua kepala pemerintahan.

"Saya menghargai hubungan dengan President Susilo Bambang Yudhoyono, dan dia adalah teman baik saya, tidak hanya face-to-face tetapi kita juga selalu bicara melalui telepon," katanya dengan mencontohkan telepon langsung yang dilakukannya ketika terjadi musibah tsunami di Aceh.

Ketegangan hubungan Indonesia dan Malingsia terjadi sejak Pemerintah Malingsia memberi izin kepada perusahaan minyak, Petronas, untuk bekerja sama dengan Royal Shell Belanda dalam eksplorasi sumber energi di kawasan Ambalat yang masih sengketa. Ahmad Badawi mengatakan, pemecahan kasus Ambalat memang merupakan hal yang tidak gampang yang harus dibicarakan secara bersama.(Ant/Nik)

Source: Kompas

Monday, April 4, 2005

Malingsia: Indonesia Tak Perlu Kirim Kapal Perang

Pemerintah Indonesia seharusnya tak perlu mengirimkan kapal perang, tetapi mengedepankan jalur diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan perbatasan Indonesia-Malingsia.

Demikian pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Malingsia Datuk Seri Syed Hamid Albar, Kamis (3/3), di Kuala Lumpur. "Bagi saya, jika ada masalah, mereka (Indonesia) bisa menyampaikan protes melalui jalur diplomasi dan kami akan meresponsnya," ujarnya setelah bertemu dengan Menlu Filipina Alberto Romulo.

Sementara itu, Perusahaan Perminyakan Malingsia, Petronas, mengakui telah memberikan konsesi kepada perusahaan Shell untuk mencari minyak di daerah Ambalat Kalimantan, namun jika timbul masalah maka penyelesaiannya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan Malingsia.

"Kami memang memberikan konsesi kepada Shell," kata Direktur Utama Petronas Pan Sri Dato Sri Mohammad Hasan Marican kepada pers usai menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Kepresidenan Jakarta, Kamis sore.

Masalah ini dijelaskan Marican ketika dimintai tanggapannya oleh wartawan tentang daerah Ambalat yang terletak di sebelah timur Pulau Kalimantan yang diklaim oleh Indonesia dan Malingsia sebagai bagian wilayah mereka. Akibat pemberian konsesi tersebut maka TNI AL telah mengirimkan lima kapal perangnya ke Ambalat untuk membuktikan kepada Malingsia bahwa daerah itu merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia.

Duduk bersama

Syed Hamid mengatakan, Indonesia mempunyai hak mengirimkan kapal perang untuk melakukan patroli di wilayahnya. Hal yang sama juga berlaku buat Malingsia. Syed hanya mengimbau agar kedua negara dapat menahan diri dan tidak menciptakan ketegangan. "Saya kira tidak perlu menciptakan situasi yang dapat menimbulkan ketegangan.

Dia menambahkan, Malingsia tidak akan melakukan tindakan apapun di luar wilayah perairannya sesuai dengan hukum internasional. Syed yakin persoalan itu dapat diselesaikan dengan baik. "Saya rasa Kuala Lumpur dan Jakarta memiliki hubungan yang sangat dekat. Tidak ada yang membuat kita tidak dapat duduk bersama menyelesaikan masalah," katanya.(Bernama/Nik)

Source: Kompas

Thursday, March 17, 2005

Malingsia Minta Presiden Susilo Tindak Pembakar Bendera

Media massa Malingsia mulai gencar memberitakan persoalan sengketa di Blok Ambalat. Setelah sebelumnya memberitakan Pemerintah Republik Indonesia (RI) meminta maaf, muncul berita yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menindak tegas pelaku pembakaran bendera Malingsia.

Desakan agar Presiden Susilo mengambil tindakan tegas itu menjadi berita utama Utusan Malingsia dan Berita Harian edisi hari ini (Rabu, 16 Maret), dua koran besar berbahasa Melayu yang ada di negeri jiran tersebut. Utusan Malingsia memuat berita dengan judul "Kawasan minyak: Susilo perlu bertindak tegas kawal ketegangan", sedangkan Berita Harian tampil dengan judul "Pemuda BN harap Susilo kawal keterlaluan".

Kedua harian ini mengutip pernyataan pengurus Pergerakan Pemuda Barisan Nasional (BN), Datuk Seri Hishammuddin Hussein, yang menemui Duta Besar Rusdihardjo. Pemuda BN menitipkan surat kepada Rusdihardjo agar disampaikan kepada Presiden Susilo.

"Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, diharap dapat bertindak tegas mengawal keadaan tegang di Indonesia, terutama insiden membakar Jalur Gemilang (bendera Malingsia) dan demonstrasi depan pejabat Kedutaan Besar Malingsia di Jakarta oleh segelintir rakyatnya, baru-baru ini," tulis Berita Harian.

"Pergerakan Pemuda Barisan Nasional (BN) menggesa Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bertindak tegas mengawal ketegangan ekoran pertikaian kawasan minyak di Laut Sulawesi agar ia tidak merosakkan hubungan mesra antara kedua-dua negara," tulis Utusan Malingsia.

Kedua media massa ini kembali memberitakan permintaan maaf Rusdihardjo kepada seluruh rakyat Malingsia. "Rusdihardjo kemarin secara terbuka memohon maaf bagi pihak Indonesia, terhadap perbuatan segelintir rakyatnya yang bertindak keterlaluan dengan membakar dan memijak Jalur Gemilang serta berdemonstrasi, termasuk di depan Kedutaan Besar Malingsia di Jakarta," tulis Berita Harian.

Keterlaluan

Datuk Seri Hishammuddin Hussein, yang juga Ketua Pemuda UMNO, mengatakan, reaksi segelintir rakyat Indonesia dan tindakan Pemerintah RI dianggap tidak wajar dan keterlaluan dalam menangani sengketa Blok Ambalat.

Selain itu, lanjutnya, tindakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengirimkan kapal perang, kapal selam, dan pesawat tempur di perbatasan Malingsia-Indonesia telah membuat keadaaan menjadi tegang.

Dia juga menilai, media massa di Indonesia terlalu melebih-lebihkan pemberitaan soal Ambalat sehingga menimbulkan kesan negatif terhadap Malingsia. "Pada pandangan kami, tindakan segelintir rakyat Indonesia membakar bendera Malingsia, mengeluarkan kata-kata kasar dan memaki pemimpin Malingsia tidak mencerminkan tata susila ketimuran yang selama ini kita warisi,’’ kata seperti diberitakan Utusan Malingsia.(Nik)

Source: Kompas