Saturday, May 12, 2007
Panglima Malingsia Minta Ambalat Digarap Bersama
"Yang penting bukan kawasan itu siapa punya. Boleh ambil ikan atau tidak. Yang penting adalah perkongsian dari hasil tanpa mempermasalahkan aspek-aspek yang merumitkan," kata Panglima ATM Abdul Aziz yang didampingi Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, dalam jumpa pers bersama, usai sidang ‘High Level Committee’ atau pertemuan puncak Malingsia-Indonesia ke-3, di Kuala Lumpur.
Ia mengatakan hal itu ketika ditanya, apakah nelayan-nelayan Indonesia dibolehkan mengambil ikan di kawasan Ambalat di mana Malingsia telah mengeluarkan peta sejak tahun 1979 yang membuat batas lautnya masuk jauh ke Selatan dalam kawasan Selat Makasar atau wilayah Indonesia. Kemenangan Malingsia atas sengketa Sipadan dan Ligitan telah membuat Malingsia semakin ngotot dengan batas-batas wilayah seperti peta yang dikeluarkan tahun 1979.
Ia mengatakan, tidak punya wewenang untuk memutuskan boleh atau tidak karena masalah boleh atau tidak kini sedang terus dirundingkan oleh pemerintahan Indonesia dan Malingsia. Ia menegaskan tidaklah penting boleh atau tidak, tapi bagaimana kedua belah pihak memanfaatkan hasilnya secara bersama.
Ditambahkan oleh Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto bahwa Departemen Luar Negeri Indonesia dan Malingsia yang kini terus merundingkan kawasan Ambalat. “Biarlah dirundingkan oleh pemerintah dan kedua kepala negara,” katanya.
Sementara itu, ketika ditanya masih maraknya illegal logging di kawasan perbatasan Indonesia-Malingsia, Panglima TNI dan ATM mengemukakan bahwa sulit untuk memantau illegal logging di perbatasan tersebut karena terlalu luasnya perbatasan walaupun sudah banyak ditempatkan pos-pos dan aparat di lapangan.
"Walaupun ditempatkan beratus ribu aparat keamanan tetap saja sulit memantau illegal logging yang terjadi di perbatasan karena terlalu panjangnya daerah perbatasan," kata Panglima ATM. Tapi dikemukakan, berdasarkan laporan-laporan dibahas dalam HLC Malindo ke-3, kasus-kasus illegal logging semakin menurun.
HLC Malindo adalah salah satu badan kerjasama di bawah GBC (General Border Committee) antara pemerintah Malingsia dan Indonesia yang bertujuan menangangi masalah keamanan di daerah perbatasan kedua negara. Kegiatan HLC Malindo meliputi bidang operasi yang diselenggarakan oleh Badan Coordinated Operations Control Committee (COCC).
Sidang HLC ke-3 membahas dan membuat evaluasi hasil kerjasama sidang GBC ini telah membahas dan membuat evaluasi hasil kerjasama sidang GBC Malindo ke-2 yang telah dilaksanakan di Jakarta, Indonesia pada 22 November 2006 berdasarkan hasil sidang GBC Malindo ke-35 yang diadakan di Jakarta, 15 Desember 2006.
Agenda HLC ke-3 juga membahas perkembangan keamanan dan pembangunan di daerah perbatasan antara kedua negara serta merumuskan tindak lanjut dalam pelaksanaan tugas bersama demi kepastian keamanan di kawasan perbatasan.
Pertemuan HLC ke-4 Malindo akan diadakan di Jakarta November 2007. (Ant/OL-06)
Source: Media Indonesia
Friday, March 30, 2007
Menhan Malingsia Sangkal Minta Maaf ke RI Soal Ambalat
Kualalumpur - Masalah perairan Ambalat merupakan masalah yang sensitif untuk Indonesia dan Malingsia. Armada Malingsia yang kerap melintas di perairan itu kerap memicu ketegangan. Terkait hal itu, Menhan Juwono Sudarsono mengatakan pihak Malingsia sudah menyampaikan maafnya secara informal.
Namun pernyataan Juwono disangkal Menhan Malingsia Datuk Seri Najib Tun Razak. Demikian dilansir thestar.com, Jumat (30/3/2007).
"Laporan itu menyatakan bahwa saya telah meminta maaf kepada Menhan Indonesia. Tapi isu soal permintaan maaf ini tidak benar. Saya tidak minta maaf ke Menhan Indonesia saat beberapa waktu yang lalu ke Bali," ujar Najib kepada wartawan usai memimpin rapat dewan tertinggi UMNO.
Saat bertemu Juwono, Najib mengaku hanya mengatakan perlunya sebuah perjanjian untuk menghindari terjadinya insiden yang tidak diinginkan.
"Dia (Juwono) setuju kalau kita harus membuat peraturan perjanjian yang kuat, khususnya untuk tingkat kepemimpinan militer di tinggkat bawah," imbuhnya.
Ditambahkan Najib juga, Indonesia dan Malingsia telah setuju bahwa para petugas kapal harus bertindak secara bijak, menghindari sikap-sikap emosional, dan mematuhi peraturan perjanjian.
"Kami mempertimbangkan hubungan politik yang baik dari pemimpin kedua negara. Tidak ada alasan isu Ambalat tidak bisa dinegosiasikan antara kedua negara yang memiliki hubungan baik. Jadi, soal permintaan maaf itu, belum ada," tukasnya.
Pada Rabu 28 Maret, Menhan Juwono Sudarsono menyatakan, ketika bertemu Menhan Najib di Bali, Najib meminta maaf secara informal. "Dia bilang, budak-budak (anak-anak) di sana memang kurang dikendalikan," kata Juwono mengutip Menhan Malingsia. (nvt/nrl)
Source: Detik
Menteri Pertahanan Malingsia Minta Maaf
Jakarta, Kompas - Menteri Pertahanan Malingsia Dato' Hj Zainal Abidin bin Hj Zin secara informal meminta maaf kepada Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono terkait peristiwa di kawasan perairan Ambalat yang berbatasan dengan Malingsia.
Permintaan maaf itu disampaikan Zainal di sela-sela pertemuan informal Menteri Pertahanan se-Asia Tenggara kedua di Bali, Sabtu pekan lalu. "Menteri Pertahanan Malingsia berjanji akan lebih memberi peringatan kepada anak buahnya di lapangan atau di laut," ujar Juwono di Sekretariat Negara, Rabu (28/3).
Menurut Juwono, Zainal menggunakan kalimat, "budak-budak di sana (anak buah) memang kurang dikendalikan" saat menjelaskan peristiwa di perairan Ambalat bisa terjadi.
"Kita juga ingin pada tingkat pelaksanaan di lapangan diperhatikan soal kejenuhan petugas patroli. Karena kejenuhan, petugas suka main-main dan mengganggu," ujar Juwono.
Untuk masalah Blok Ambalat, menurut Juwono, yang penting ada rules of enggangement (aturan pelibatan) yang dipatuhi. Dengan aturan itu, setiap kali ada pelanggaran dan setelah diberi peringatan, pelanggar pergi.
Menurut Juwono, pelanggaran kedaulatan bisa terjadi lantaran perbatasan di laut sering kali sulit dipastikan terkait masalah perhitungan koordinat. "Kita pahami, mereka tidak ada niat untuk sengaja melanggar," ujarnya.
Terkait permintaan maaf ini, Atase Pertahanan Malingsia di Indonesia Kolonel Ramlee yang turut ke Bali ketika dikonfirmasi memilih tidak berkomentar karena tidak tahu persis apa yang dibicarakan kedua menteri.
"Apa sebenarnya yang dikatakan, saya tidak dengar. Lagi pula, setahu saya, tidak ada pelanggaran apa-apa di Ambalat. TNI tidak berkomentar. Yang berkomentar hanya media massa," ujarnya. (INU)
Source: Kompas
Friday, April 29, 2005
Trauma Sipadan-Ligitan di Ambalat
Oleh Rusman Ghazali
BERMULA dari lepasnya Timor Timur, 1999, kemudian kekalahan diplomasi politik kita di Mahkamah Internasional dalam mempertahankan Sipadan-Ligitan, 2002, sehingga kedua pulau tersebut menjadi milik Malingsia. Lepasnya kedua wilayah dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat membuat masyarakat kita trauma kemungkinan trauma Sipadan-Ligitan terulang untuk kasus Blok Ambalat.
Konstruksi bangunan teritorial kita dilihat dari kepentingan nasional dirasakan begitu rapuh dalam beberapa tahun terakhir. Sengketa dua blok wilayah Malingsia-Indonesia kembali memanas. Masing-masing mengklaim sebagai wilayah sah mereka. Malingsia memberi nama ND6 dan ND7 dan Indonesia menamakan Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Pertanyaannya mana yang benar?
Menurut Prof Azmi Hassan, ahli strategi politik Malingsia dari UTM (Berita Harian, 7/3), bantahan Pemerintah Indonesia atas klaim kedua blok di Ambalat sudah diperkirakan sebelumnya, bahkan Pemerintah Malingsia telah mempersiapkan segala hal ihwal yang terkait dengan sengketa ini. Dari segi diplomasi, Pemerintah Malingsia tidak pernah meragukan kesahihan atas klaim ND6 dan ND7 sebagai bagian dari wilayah Malingsia atas dasar peta pentas benua, 1979. Dan, juga melakukan bantahan atas konsesi eksplorasi minyak yang diberikan kepada perusahaan ENI dan Unicoal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia.
Bukan hanya itu, dalam tulisan itu, Prof Azmi juga membuat kalkulasi atas kekuatan militer Indonesia jika harus berhadapan dengan kekuatan militer Malingsia. Bahwa TNI tidak berada dalam keadaan optimal akibat embargo militer AS sejak beberapa tahun lalu. Azmi memberi contoh, hanya 40 persen jet tempur yang dimiliki TNI AU dapat digunakan karena ketiadaan suku cadang untuk mengoperasikan kekuatan secara penuh. Jet Sukhoi yang dimiliki Indonesia hanya mempunyai kemampuan radar, tanpa dibantu oleh kelengkapan persenjataan yang lebih canggih lainnya.
Pendek kata, bahwa dalam sengketa ini kekuatan militer TNI juga telah diperhitungkan kekuatannya oleh para ahli strategi di Malingsia sebagai referensi Pemerintah Malingsia dalam menentukan sikap terhadap sengketa di wilayah Ambalat. Pertanyaannya, bagaimana persiapan Pemerintah RI untuk mengelola kasus ini. Karena kasus ini, bukan hanya terkait dengan persoalan klaim sumber minyak, tetapi jauh dari itu juga menyangkut pelecehan harkat dan martabat, harga diri, dan nasionalisme kebangsaan Indonesia serta wilayah kedaulatan negara yang "haram" untuk dinegosiasikan.
Tampaknya, ada kecenderungan dari Pemerintah Malingsia lebih menginginkan konteks diplomasi politik dalam sengketa wilayah Ambalat ini diberi bobot kuat. Oleh karena itu ajakan Pemerintah Indonesia untuk merundingkan kawasan tersebut sejak beberapa tahun silam belum pernah dilayani. Tetapi, pada saat yang sama, Pemerintah Malingsia sedang giat membangun argumen dalam kerangka diplomasi internasional.
Pertama, kajian politik yang ditulis MA Yusoff (2004), bahwa dalam konteks historis, sebenarnya Sipadan-Ligitan diakui masuk dalam wilayah Indonesia, tetapi dari aspek teknologi yang digunakan dan penguasaan konsep-konsep diplomasi politik modern dalam persidangan di Mahkamah Internasional, tim negosiator dari Malingsia jauh lebih unggul karena Indonesia hanya mengandalkan aspek historis. Ada kemungkinan referensi ini menjadi inspirasi kuat bagi Pemerintah Malingsia untuk menggiring kasus Ambalat ini menjadi lebih kompleks di tingkat Mahkamah Internasional, sebagaimana ia memenangkan Sipadan-Ligitan dengan mudah.
Kedua, I Basis Susilo ("Menghadapi Provokasi Malingsia", Kompas, 7/3), bahwa unjuk kekuatan perlu dijaga dalam batas-batas yang lebih produktif bagi diplomasi, tetapi harus merupakan bagian strategis nasional yang terencana. Sepakat dengan hal ini, tetapi ruang diplomasi pemerintah diharapkan tidak longgar, agar tidak tergiring masuk dalam sengketa yang kompleks seperti kasus Sipadan-Ligitan. Apalagi konsep sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut dianggap lebih kuat untuk berhadapan dengan peta pentas benua yang diklaim Malingsia.
Ketiga, bersambung dari poin pertama, dengan mencermati perubahan konstalasi geopolitik antarnegara, sangat penting untuk memaknai bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak lagi cukup mengandalkan aspek historis, atas terbentuknya negara-negara dunia ketiga lebih banyak berdasarkan referensi peta kolonialisme. Jauh dari itu, penguasaan perkembangan konsep diplomasi politik antara negara yang berbatasan langsung serta cara-cara pencaplokan wilayah dengan "tersembunyi" juga sangat menentukan eksistensi wilayah suatu negara. Sebagaimana yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir, seperti semakin bertambahnya wilayah daratan Singapura karena teknologi reklamasi pantai.
Oleh karena itu, dalam konteks sengketa Ambalat yang sedang memanas ini, kita tetap berharap diplomasi menjadi pilihan terbaik sebagai solusi. Dengan harapan diplomasi itu tetap mengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI, tanpa pernah merelakan sejengkal pun untuk diklaim pihak luar. Semoga!
Rusman Ghazali Dosen FISIP Universitas Nasional, Mahasiswa S3 UKM Malingsia
Friday, April 15, 2005
Tak Ada Alasan Malingsia Meninggalkan Ambalat
Perdana Menteri (PM) Malingsia Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi menyatakan, tidak ada alasan bagi Malingsia untuk meninggalkan kawasan Blok Ambalat. "Buat apa kita keluar? Tak ada pun sebab kita hendak meninggalkan kawasan itu,’’ kata Abdullah di Kuala Lumpur seperti dilaporkan Kantor Berita Malingsia, Bernama.
Pernyataan Abdullah ini sekaligus membantah berita bahwa Malingsia menarik kapal perangnya dari Ambalat menyusul insiden serempetan Kapal Diraja Rencong dengan KRI Tedong Naga, di perairan Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, pekan lalu. ’’Kawasan itu kawasan yang kita klaim sebagai kawasan kita. Jadi kita berhak berada di situ,’’ katanya.
Abdullah membantah Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono yang menyatakan Malingsia mengakui posisi Indonesia lebih kuat dalam sengketa Ambalat. "Kami memiliki posisi yang lebih kuat dalam hal ini. Saya tak pernah mengatakan kedudukan mereka lebih kuat. Datuk Seri Najib Tun Razak (Wakil PM Malingsia) tak pernah mengatakan. Datuk Seri Syed Hamid Albar (Menlu Malingsia) pun tak pernah mengatakan,’’ tambahnya.
Panglima ATM
Sementara itu, Angkatan Tentera Malingsia (ATM) membuat sejarah baru dengan mengangkat Panglima ATM dari Tentera Laut Diraja Malingsia (TLDM). Sebelumnya, Panglima ATM selalu dijabat dari Tentera Darat Diraja Malingsia.
Panglima TLDM Laksamana Datuk Seri Mohd. Anwar Mohd. Noor secara resmi diumumkan sebagai Panglima ATM yang baru. Apakah pengangkatan Panglima ATM dari unsur TLDM terkait dengan sengketa Blok Ambalat?
Wakil PM Malingsia Najib Tun Razak ketika mengatakan, pemilihan Mohd. Anwar sebagai Panglima ATM adalah sesuai dengan perubahan paradigma dalam konsep pembangunan angkatan bersenjata di seluruh dunia.(Bernama/Nik)
Thursday, April 14, 2005
Malingsia Tidak Akan Gunakan Cara Militer Selesaikan Ambalat
Malingsia tidak akan pernah menggunakan pendekatan militer dalam penyelesaian kasus Ambalat. Malingsia mengedepankan duduk bersama melalui perundingan untuk menyelesaikan sengketa wilayah dengan Indonesia itu.
"Tidak boleh dengan cara militer untuk klaim wilayah Ambalat, tapi musti kita berunding dalam kerangka ciptakan kawasan yang stabil dan aman," kata Perdana Menteri (PM) Malingsia Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi di Putrajaya, Kuala Lumpur, Kamis (14/4), ketika menerima wartawan senior dari Indonesia yang diundang oleh Institut Kajian Strategik dan Antarabangsa (ISIS) Malingsia.
Abdullah mengatakan, hubungan Indonesia dan Malingsia adalah sangat penting bagi ASEAN sehingga diperlukan kepastian hubungan yang kuat dari level pemimpin, pegawai, tentara, diplomat, polisi, LSM dan rakyat kedua negara.
Sejak awal, katanya, penyelesaian masalah Ambalat ditangani dengan sangat hati-hati dan ini telah dilakukan melalui perundingan-perundingan teknis, pertemuan menlu kedua negara, termasuk pembicaraan langsung melalui telepon antara kedua kepala pemerintahan.
"Saya menghargai hubungan dengan President Susilo Bambang Yudhoyono, dan dia adalah teman baik saya, tidak hanya face-to-face tetapi kita juga selalu bicara melalui telepon," katanya dengan mencontohkan telepon langsung yang dilakukannya ketika terjadi musibah tsunami di Aceh.
Ketegangan hubungan Indonesia dan Malingsia terjadi sejak Pemerintah Malingsia memberi izin kepada perusahaan minyak, Petronas, untuk bekerja sama dengan Royal Shell Belanda dalam eksplorasi sumber energi di kawasan Ambalat yang masih sengketa. Ahmad Badawi mengatakan, pemecahan kasus Ambalat memang merupakan hal yang tidak gampang yang harus dibicarakan secara bersama.(Ant/Nik)
Source: Kompas
Monday, April 4, 2005
Malingsia: Indonesia Tak Perlu Kirim Kapal Perang
Pemerintah Indonesia seharusnya tak perlu mengirimkan kapal perang, tetapi mengedepankan jalur diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan perbatasan Indonesia-Malingsia.
Demikian pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Malingsia Datuk Seri Syed Hamid Albar, Kamis (3/3), di Kuala Lumpur. "Bagi saya, jika ada masalah, mereka (Indonesia) bisa menyampaikan protes melalui jalur diplomasi dan kami akan meresponsnya," ujarnya setelah bertemu dengan Menlu Filipina Alberto Romulo.
Sementara itu, Perusahaan Perminyakan Malingsia, Petronas, mengakui telah memberikan konsesi kepada perusahaan Shell untuk mencari minyak di daerah Ambalat Kalimantan, namun jika timbul masalah maka penyelesaiannya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan Malingsia.
"Kami memang memberikan konsesi kepada Shell," kata Direktur Utama Petronas Pan Sri Dato Sri Mohammad Hasan Marican kepada pers usai menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Kepresidenan Jakarta, Kamis sore.
Masalah ini dijelaskan Marican ketika dimintai tanggapannya oleh wartawan tentang daerah Ambalat yang terletak di sebelah timur Pulau Kalimantan yang diklaim oleh Indonesia dan Malingsia sebagai bagian wilayah mereka. Akibat pemberian konsesi tersebut maka TNI AL telah mengirimkan lima kapal perangnya ke Ambalat untuk membuktikan kepada Malingsia bahwa daerah itu merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia.
Duduk bersama
Syed Hamid mengatakan, Indonesia mempunyai hak mengirimkan kapal perang untuk melakukan patroli di wilayahnya. Hal yang sama juga berlaku buat Malingsia. Syed hanya mengimbau agar kedua negara dapat menahan diri dan tidak menciptakan ketegangan. "Saya kira tidak perlu menciptakan situasi yang dapat menimbulkan ketegangan.
Dia menambahkan, Malingsia tidak akan melakukan tindakan apapun di luar wilayah perairannya sesuai dengan hukum internasional. Syed yakin persoalan itu dapat diselesaikan dengan baik. "Saya rasa Kuala Lumpur dan Jakarta memiliki hubungan yang sangat dekat. Tidak ada yang membuat kita tidak dapat duduk bersama menyelesaikan masalah," katanya.(Bernama/Nik)
Source: Kompas
Thursday, March 17, 2005
Malingsia Minta Presiden Susilo Tindak Pembakar Bendera
Media massa Malingsia mulai gencar memberitakan persoalan sengketa di Blok Ambalat. Setelah sebelumnya memberitakan Pemerintah Republik Indonesia (RI) meminta maaf, muncul berita yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menindak tegas pelaku pembakaran bendera Malingsia.
Desakan agar Presiden Susilo mengambil tindakan tegas itu menjadi berita utama Utusan Malingsia dan Berita Harian edisi hari ini (Rabu, 16 Maret), dua koran besar berbahasa Melayu yang ada di negeri jiran tersebut. Utusan Malingsia memuat berita dengan judul "Kawasan minyak: Susilo perlu bertindak tegas kawal ketegangan", sedangkan Berita Harian tampil dengan judul "Pemuda BN harap Susilo kawal keterlaluan".
Kedua harian ini mengutip pernyataan pengurus Pergerakan Pemuda Barisan Nasional (BN), Datuk Seri Hishammuddin Hussein, yang menemui Duta Besar Rusdihardjo. Pemuda BN menitipkan surat kepada Rusdihardjo agar disampaikan kepada Presiden Susilo.
"Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, diharap dapat bertindak tegas mengawal keadaan tegang di Indonesia, terutama insiden membakar Jalur Gemilang (bendera Malingsia) dan demonstrasi depan pejabat Kedutaan Besar Malingsia di Jakarta oleh segelintir rakyatnya, baru-baru ini," tulis Berita Harian.
"Pergerakan Pemuda Barisan Nasional (BN) menggesa Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bertindak tegas mengawal ketegangan ekoran pertikaian kawasan minyak di Laut Sulawesi agar ia tidak merosakkan hubungan mesra antara kedua-dua negara," tulis Utusan Malingsia.
Kedua media massa ini kembali memberitakan permintaan maaf Rusdihardjo kepada seluruh rakyat Malingsia. "Rusdihardjo kemarin secara terbuka memohon maaf bagi pihak Indonesia, terhadap perbuatan segelintir rakyatnya yang bertindak keterlaluan dengan membakar dan memijak Jalur Gemilang serta berdemonstrasi, termasuk di depan Kedutaan Besar Malingsia di Jakarta," tulis Berita Harian.
Keterlaluan
Datuk Seri Hishammuddin Hussein, yang juga Ketua Pemuda UMNO, mengatakan, reaksi segelintir rakyat Indonesia dan tindakan Pemerintah RI dianggap tidak wajar dan keterlaluan dalam menangani sengketa Blok Ambalat.
Selain itu, lanjutnya, tindakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengirimkan kapal perang, kapal selam, dan pesawat tempur di perbatasan Malingsia-Indonesia telah membuat keadaaan menjadi tegang.
Dia juga menilai, media massa di Indonesia terlalu melebih-lebihkan pemberitaan soal Ambalat sehingga menimbulkan kesan negatif terhadap Malingsia. "Pada pandangan kami, tindakan segelintir rakyat Indonesia membakar bendera Malingsia, mengeluarkan kata-kata kasar dan memaki pemimpin Malingsia tidak mencerminkan tata susila ketimuran yang selama ini kita warisi,’’ kata seperti diberitakan Utusan Malingsia.(Nik)
Source: Kompas