Oleh Rusman Ghazali
BERMULA dari lepasnya Timor Timur, 1999, kemudian kekalahan diplomasi politik kita di Mahkamah Internasional dalam mempertahankan Sipadan-Ligitan, 2002, sehingga kedua pulau tersebut menjadi milik Malingsia. Lepasnya kedua wilayah dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat membuat masyarakat kita trauma kemungkinan trauma Sipadan-Ligitan terulang untuk kasus Blok Ambalat.
Konstruksi bangunan teritorial kita dilihat dari kepentingan nasional dirasakan begitu rapuh dalam beberapa tahun terakhir. Sengketa dua blok wilayah Malingsia-Indonesia kembali memanas. Masing-masing mengklaim sebagai wilayah sah mereka. Malingsia memberi nama ND6 dan ND7 dan Indonesia menamakan Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Pertanyaannya mana yang benar?
Menurut Prof Azmi Hassan, ahli strategi politik Malingsia dari UTM (Berita Harian, 7/3), bantahan Pemerintah Indonesia atas klaim kedua blok di Ambalat sudah diperkirakan sebelumnya, bahkan Pemerintah Malingsia telah mempersiapkan segala hal ihwal yang terkait dengan sengketa ini. Dari segi diplomasi, Pemerintah Malingsia tidak pernah meragukan kesahihan atas klaim ND6 dan ND7 sebagai bagian dari wilayah Malingsia atas dasar peta pentas benua, 1979. Dan, juga melakukan bantahan atas konsesi eksplorasi minyak yang diberikan kepada perusahaan ENI dan Unicoal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia.
Bukan hanya itu, dalam tulisan itu, Prof Azmi juga membuat kalkulasi atas kekuatan militer Indonesia jika harus berhadapan dengan kekuatan militer Malingsia. Bahwa TNI tidak berada dalam keadaan optimal akibat embargo militer AS sejak beberapa tahun lalu. Azmi memberi contoh, hanya 40 persen jet tempur yang dimiliki TNI AU dapat digunakan karena ketiadaan suku cadang untuk mengoperasikan kekuatan secara penuh. Jet Sukhoi yang dimiliki Indonesia hanya mempunyai kemampuan radar, tanpa dibantu oleh kelengkapan persenjataan yang lebih canggih lainnya.
Pendek kata, bahwa dalam sengketa ini kekuatan militer TNI juga telah diperhitungkan kekuatannya oleh para ahli strategi di Malingsia sebagai referensi Pemerintah Malingsia dalam menentukan sikap terhadap sengketa di wilayah Ambalat. Pertanyaannya, bagaimana persiapan Pemerintah RI untuk mengelola kasus ini. Karena kasus ini, bukan hanya terkait dengan persoalan klaim sumber minyak, tetapi jauh dari itu juga menyangkut pelecehan harkat dan martabat, harga diri, dan nasionalisme kebangsaan Indonesia serta wilayah kedaulatan negara yang "haram" untuk dinegosiasikan.
Tampaknya, ada kecenderungan dari Pemerintah Malingsia lebih menginginkan konteks diplomasi politik dalam sengketa wilayah Ambalat ini diberi bobot kuat. Oleh karena itu ajakan Pemerintah Indonesia untuk merundingkan kawasan tersebut sejak beberapa tahun silam belum pernah dilayani. Tetapi, pada saat yang sama, Pemerintah Malingsia sedang giat membangun argumen dalam kerangka diplomasi internasional.
Pertama, kajian politik yang ditulis MA Yusoff (2004), bahwa dalam konteks historis, sebenarnya Sipadan-Ligitan diakui masuk dalam wilayah Indonesia, tetapi dari aspek teknologi yang digunakan dan penguasaan konsep-konsep diplomasi politik modern dalam persidangan di Mahkamah Internasional, tim negosiator dari Malingsia jauh lebih unggul karena Indonesia hanya mengandalkan aspek historis. Ada kemungkinan referensi ini menjadi inspirasi kuat bagi Pemerintah Malingsia untuk menggiring kasus Ambalat ini menjadi lebih kompleks di tingkat Mahkamah Internasional, sebagaimana ia memenangkan Sipadan-Ligitan dengan mudah.
Kedua, I Basis Susilo ("Menghadapi Provokasi Malingsia", Kompas, 7/3), bahwa unjuk kekuatan perlu dijaga dalam batas-batas yang lebih produktif bagi diplomasi, tetapi harus merupakan bagian strategis nasional yang terencana. Sepakat dengan hal ini, tetapi ruang diplomasi pemerintah diharapkan tidak longgar, agar tidak tergiring masuk dalam sengketa yang kompleks seperti kasus Sipadan-Ligitan. Apalagi konsep sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut dianggap lebih kuat untuk berhadapan dengan peta pentas benua yang diklaim Malingsia.
Ketiga, bersambung dari poin pertama, dengan mencermati perubahan konstalasi geopolitik antarnegara, sangat penting untuk memaknai bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak lagi cukup mengandalkan aspek historis, atas terbentuknya negara-negara dunia ketiga lebih banyak berdasarkan referensi peta kolonialisme. Jauh dari itu, penguasaan perkembangan konsep diplomasi politik antara negara yang berbatasan langsung serta cara-cara pencaplokan wilayah dengan "tersembunyi" juga sangat menentukan eksistensi wilayah suatu negara. Sebagaimana yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir, seperti semakin bertambahnya wilayah daratan Singapura karena teknologi reklamasi pantai.
Oleh karena itu, dalam konteks sengketa Ambalat yang sedang memanas ini, kita tetap berharap diplomasi menjadi pilihan terbaik sebagai solusi. Dengan harapan diplomasi itu tetap mengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI, tanpa pernah merelakan sejengkal pun untuk diklaim pihak luar. Semoga!
Rusman Ghazali Dosen FISIP Universitas Nasional, Mahasiswa S3 UKM Malingsia